Sunday, November 7, 2010

BIOGRAFI IMAM SYAFEI

Nama dan Nasab
Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Safi'I dan bertemu nasabnya dengan nabi Muhammad dengan Abdul Manaf

Kelahiran
Lahir pada tahun 150 H di Ghozah dan ibunya membawa beliau ke Mekkah setelah beliau berusia 2 tahun dan dari ibunya tersebut beliau belajar al qur'an

Guru-guru
Diantara guru-guru beliau adalah paman beliau sendiri Muhammad bin Ali kemudian abdul Aziz bin Majisun dan kepada imam Malik beliau belajar Al Muwatho'

Kehidupan ilmiah
Pada usia 10 tahun beliau belajar bahasa dan syair hingga mantab. Kemudian belajar fiqih , hadis dan al qur'an kepada ismail bin qostantin, kemudian menghafal muwatho' dan mengujikannya kepada imam Malik. Imam Muslim bin Kholid mengijinkan beliau berfatwa ketika beliau berusia 10 tahun atau kurang. Menulis dari Muhammad bin Hasan ilmu fiqih. Imam Malik melihat kekuatan dan kecerdasan beliau sehingga memuliakan dan menjadikan Syafi'i sebagai orang dekatnya

Murid-murid
Diantara murid beliau adalah imam Ahmad, Khumaidi, Abu Ubaid, Al Buthi, Abu Staur dan masih banyak yang lain.

Peranan dalam membela sunnah
Beliau memeliki kedudukan tersendiri yang membedakan diantara ahlul hadis yang lain. Beliaulah yang meletakkan kaidah-kaidah riwayat pembelaan terhadap sunnah dan memiliki beberapa pendapat yang berbeda dengan imam Malik dan Abu Hanifah, yaitu bahwa sebuah hadis apabila sahih maka wajib mengamalkannya walaupun tidak dilakukan oleh ahlul madinah (seperti yang disyararatkan oleh imam Malik dan Abu Hanifah). Dengan ini beliau dijuluki nasirussunnah (penolong sunnah) dan tidaklah dapat diingkari oleh setiap yang menulis mustholah hadis dan pembahasan sunnah serta kitab ussul bahwa mereka mengikuti apa yang ditulis oleh safi'i.

Pokok pendapat beliau
Pokok pendapat beliau sebagaimana pendapat imam yang lain adalah beramal dengan kitab dan sunnah serta ijma'. Kelebihan beliau adalah beramal dengan kitab dan sunnah seta ijma' lebih luas dari pada imam Malik dan Abu Hanifah karena beliau menerima hadis ahad

Perkataan ulama' tentang beliau
Para ulama' ahlul hadis dijaman ini apabila berkata maka mereka berkata menggunakan perkataan imam Syafi'i. Imam Ahmad berkata, 'tidaklah ada orang yang menyentuh pena dan tinta kecuali Syafi'i. Dan tidaklah kita mengetahui sesuatu yang global dari tafsir dan nasih mansuh dari hadis kecuali setelah duduk bersama imam Syafi'i."
Ahmad bin hambal pernah berkata pada ishaq bin rokhuyah "kemarilah aku tunjukkan kepadamu seorang laki-laki yang engkau belum pernah melihat yang semisalnya maka dia membawaku kepada imam syafi'i."

Perkataan imam syafi'i

tidaklah saya berdebat dengan seseorang kecuali agar ia tepat , benar dan tertolong dan ia mendaptkan penjagaan serta pengawasan Allah dan tidaklah saya berdebat dengan seseorang kecuali saya tidak perduli apakah Allah akan menjelaskan kebenaran dari mulutju atau mulut dia.
amalan yang paling hebat ialah dermawan dalam kondisi sempit, menjaga diri ketika sendirian dan mengucapkan kalimat yang benar dihadan orang yang berharap dan yang takut
bantulah dalam berkata dengan diam dan mengambil hukum dengan berfikir
barang siapa belajar al qur'an maka ia akan agung dipandangan manusia, barang siapa yang belajar hadis akan kuat hujjahnya , barang siapa yang belajar nahwu maka dia akan dicari, barang siapa yang belajar bahasa arab akan lembut tabiatnya, barang siapa yang belajar ilmu hitung akan banyak fikirannya, barang siapa belajar fiqih akan tinggi keddukannya, barang siapa yang tidak mampu menahan dirinya maka tidak bermanfaat ilmunya dan inti dari itu semua adalah taqwa.
Wafat beliau
Wafat pada tahun 204 H. setelah memenuhi dunia dengan ilmu dan ijtihad beliau dan memenuhi hati-hati manusia dengan cinta pengagungan dan kecondongan paada beliau.
IMAM ASY-SYAFI'I (Pemilik Manhaj Fiqih Yang Memadukan Antara Dua Madzhab Pendahulunya)
Selasa, 01 Februari 05


Nama Dan Nasabnya

Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.

Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga

Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih muda.

Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”

Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.

Gelarnya

Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah.

Kelahiran Dan Pertumbuhannya

Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.

Tempat Kelahirannya

Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.

Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”

Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.

Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu

Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.

Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.

Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.

Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.

Semula beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.

Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu

Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.

Kapasitas keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.

Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.

Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.

Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik ‘kisah-kisah islami-red.,).

Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.

Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.

Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.

Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.

Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.

Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya

Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.

Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.

Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu, timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas, berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.

Saat imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.

Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.

Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.

Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).

Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak demikian.

Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.

Aqidahnya

Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).

Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.

Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.

Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])

Sya’ir-Sya’irnya

Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

Imam Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”

Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.

Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud

Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?

- Sya’ir Akhaq

Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang

Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya

Imam asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.

Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.”

Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?”

Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”

Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an.

Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”

Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”

Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.

Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama yang bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin), yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.

Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.

Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan

REFERENSI:

- asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam
- I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
- Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah
- Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais
- Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab
- Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i

Diringkas dan disadur oleh,
Abu Hafshoh al-‘Afifah
Imam Syafi'i salah seorang Ulama Fiqih (hukum Islam) yang terkenal dan mempunyai pengikut yang ramai di Negara-Negara yang ramai penduduk Islamnya terutama di Indonesia dan Malaysia. Beliau di lahirkan pada tahun 150 H di Gaza. Imam Syafi'i menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengkaji hal-hal yang berkenaan Hukum Islam.
Disamping itu beliau juga salah seorang ahli sya'ir yang terkenal dengan sya'irnya yang indah dan berisi. Syairnya-syairnya ibarat untaian mutiara yang gemerlapan, penuh dengan ungkapan-ungkapan balaghah, hikmah, dan nasihat yang bernilai tinggi. Imam Syafi'i pencinta Ilmu Pengetahuan semenjak kecil lagi. Beliau biasa mengkhatamkan al-Quran sebanyak enam puluh kali, terutama dalam bulan Ramadhan, terutama dibacanya ketika sholat. Imam Syafi'i seorang yang suka berderma dari apapun harta yang dimilikinya.
Hidupnya sangat sederhana terutama dalam makan dan minum. Beliau tidak pernah makan kenyang semenjak usia enam belas tahun. Karena kekenyangan akan menambah berat badan, mengeraskan hati, menumpulkan otak, membawa mengantuk dan malas beribadah, demikian kata Imam Syafi'i.
Imam Syafi'i wafat selepas magrib malam Juma'at, akhir bulan Rajab, dan jenazah beliau dikebumikan pada hari Jum'at, tahun 204 Hijriyah di Mesir. Ramai Ulama yang mengakui kejujuran, keadilan, kezuhudan, kewara'an, dan akhlak yang mulia yang dimiliki oleh Imam Syafi'i. Selama hidupnya penuh dengan petunjuk dengan sifat taqwanya yang tinggi dan hidupnya jauh dari kesesatan dan kejahatan.
Beliau jujur dalam Hukum-Hukumnya, berlandaskan Kebenaran dan Keadilan Allah s.w.t. yang disanjung tinggi. Hukum-Hukumnya ibarat bintang-gemintang yang menjadi perhiasan angkasa raya. Beliau suka merantau untuk menambah Ilmu Pengetahuan dan mengamalkannya untuk kepentingan Ummat. Untaian mutiara pesanan yang ditinggalnya sangatlah banyak antara lain beliau berpesan:
• Pergilah (merantaulah) dengan penuh keyakinan, niscaya akan engkau temui lima kegunaan, yaitu Ilmu Pengetahuan, Adab, pendapatan, menghilangkan kesedihan, mengagungkan jiwa, dan persahabatan.
• Sungguh aku melihat air yang tergenang membawa bau yang tidak sedap. Jika ia terus mengalir maka air itu akan kelihatan bening dan sehat untuk diminum. Jika engkau biarkan air itu tergenang maka ia akan membusuk.
• Singa hutan dapat menerkam mangsanya, setelah ia meninggalkan sarangnya. Anak panah yang tajam tak akan mengenai sasarannya, jika tidak meninggalkan busurnya.
• Emas bagaikan debu, sebelum ditambang. Pohon cendana yang tetancap ditempatnya, tak ubah seumpama kayu bakar (kayu api).
• Jika engkau tinggalkan tempat kelahirnmu, engkau akan menemui derajat yang mulia ditempat yang baru, dan engkau bagaikan emas sudah terangkat dari tempatnya.
IMAM SYAFE'I
Imam Syafi'i salah seorang Ulama Fiqih (hukum Islam) yang terkenal dan mempunyai pengikut yang ramai di Negara-Negara yang ramai penduduk Islamnya terutama di Indonesia dan Malaysia. Beliau di lahirkan pada tahun 150 H di Gaza. Imam Syafi'i menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengkaji hal-hal yang berkenaan Hukum Islam.
Disamping itu beliau juga salah seorang ahli sya'ir yang terkenal dengan sya'irnya yang indah dan berisi. Syairnya-syairnya ibarat untaian mutiara yang gemerlapan, penuh dengan ungkapan-ungkapan balaghah, hikmah, dan nasihat yang bernilai tinggi. Imam Syafi'i pencinta Ilmu Pengetahuan semenjak kecil lagi. Beliau biasa mengkhatamkan al-Quran sebanyak enam puluh kali, terutama dalam bulan Ramadhan, terutama dibacanya ketika sholat. Imam Syafi'i seorang yang suka berderma dari apapun harta yang dimilikinya.
Hidupnya sangat sederhana terutama dalam makan dan minum. Beliau tidak pernah makan kenyang semenjak usia enam belas tahun. Karena kekenyangan akan menambah berat badan, mengeraskan hati, menumpulkan otak, membawa mengantuk dan malas beribadah, demikian kata Imam Syafi'i.
Imam Syafi'i wafat selepas magrib malam Juma'at, akhir bulan Rajab, dan jenazah beliau dikebumikan pada hari Jum'at, tahun 204 Hijriyah di Mesir. Ramai Ulama yang mengakui kejujuran, keadilan, kezuhudan, kewara'an, dan akhlak yang mulia yang dimiliki oleh Imam Syafi'i. Selama hidupnya penuh dengan petunjuk dengan sifat taqwanya yang tinggi dan hidupnya jauh dari kesesatan dan kejahatan.
Beliau jujur dalam Hukum-Hukumnya, berlandaskan Kebenaran dan Keadilan Allah s.w.t. yang disanjung tinggi. Hukum-Hukumnya ibarat bintang-gemintang yang menjadi perhiasan angkasa raya. Beliau suka merantau untuk menambah Ilmu Pengetahuan dan mengamalkannya untuk kepentingan Ummat. Untaian mutiara pesanan yang ditinggalnya sangatlah banyak antara lain beliau berpesan:
• Pergilah (merantaulah) dengan penuh keyakinan, niscaya akan engkau temui lima kegunaan, yaitu Ilmu Pengetahuan, Adab, pendapatan, menghilangkan kesedihan, mengagungkan jiwa, dan persahabatan.
• Sungguh aku melihat air yang tergenang membawa bau yang tidak sedap. Jika ia terus mengalir maka air itu akan kelihatan bening dan sehat untuk diminum. Jika engkau biarkan air itu tergenang maka ia akan membusuk.
• Singa hutan dapat menerkam mangsanya, setelah ia meninggalkan sarangnya. Anak panah yang tajam tak akan mengenai sasarannya, jika tidak meninggalkan busurnya.
• Emas bagaikan debu, sebelum ditambang. Pohon cendana yang tetancap ditempatnya, tak ubah seumpama kayu bakar (kayu api).
• Jika engkau tinggalkan tempat kelahirnmu, engkau akan menemui derajat yang mulia ditempat yang baru, dan engkau bagaikan emas sudah terangkat dari tempatnya.
Imam Syafi'i Sewaktu Kecil
Semenjak kecil Syafi'i telah hafal al-Quran dan banyak dari Hadis Nabi s.a.w. Dimana beliau mendengar ada orang Alim, maka beliau segera menemuinya untuk menimba Ilmu Pengetahuan. Ketika berusia masih kecil yaitu 14 tahun, beliau menceritakan hasratnya kepada ibundanya yang sangat dikasihinya tentang keinginannya untuk menambahkan Ilmu Pengetahuan dengan cara merantau.
Mulanya Ibundanya berat untuk melepaskan Syafi'i, karena beliaulah seorang yang menjadi harapan ibunya untuk menjaganya di hari tuanya. Demi ketaatan dan kecintaan Syafi'i kepada Ibundanya, maka mulanya beliau terpaksa membatalkan keinginannya itu, demi kasih sayangnya kepada ibunya itu. Meskipun demikian akhirnya ibundanya mengizinkan Syafi'i untuk memenuhi hajatnya untuk menambah Ilmu Pengetahuan.
Sebelumnya melepaskan Syafi'i berangkat, maka ibundanya mendo'akannya
:"Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh Alam ! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keredhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut Ilmu Pengetahuan peninggalan Pesuruhmu. Oleh karena itu aku bermohon kepadaMu ya Allah permudahkanlah urusannya. Peliharakanlah keselamatanNya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan Ilmu Pengetahuan yang berguna, amin!"
Selesainya berdo'a ibundanya memeluk Syafi'i kecil dengan penuh kasih sayang dan dengan linangan air mata karena sedih untuk berpisah. Sambil berkata: "Pergilah anakku Allah bersamamu !Insya-Allah engkau akan menjadi bintang Ilmu yang paling gemerlapan dikemudian hari. Pergilah sekarang karena ibu telah redha melepaskanmu. Ingatlah bahwa Allah itulah sebaik-baik tempat untuk memohon perlindungan ! Selepas ibunya mendo'akan Syafi'i, maka Syafi'i mencium tangan ibunya dan mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya.
Sambil meninggalkan ibunda yang sangat dikasihinya dengan hati yang pilu Syafi'i melambaikan tangan mengucapkan salam selamat tinggal, dan mengharapkan ibundanya senantiasa mendo'akannya untuk kesejahteraan dan keberhasilannya dalam menuntut Ilmu Pengetahuan yang berguna.
Oleh karena kehidupannya yang sangat miskin, maka Syafi'i berangkat dengan tidak membawa perbekalan uang, kecuali dengan berbekalkan do'a ibunya dan cita-cita yang teguh untuk menambah Ilmu Pengetahuan sambil bertawakkal kepada Allah s.w.t.
Imam Syafi'i mengisahkan perpisahan dengan ibunya dengan mengatakan: "Sesekali aku menoleh kebelakang untuk melambaikan tangan kepada ibuku. Dia masih terjegat diluar pekarangan rumah sambil memperhatikan aku. Lama-kelamaan wajah ibu menjadi samar ditelan kabus pagi. Aku meninggalkan kota Makkah yang penuh barkah, tanpa membawa sedikitpun bekalan uang, apa yang menjadi bekalan bagi diriku hanyalah Iman yang teguh dan hati yang penuh tawakkal kepada Allah s.w.t.serta do'a restu ibuku sahaja. Aku serahkan diriku kepada Allah seru sekalian
Alam."
Imam Syafi'i ke kota Madinah
Dalam perjalan tersebut haripun mulai senja Syafi'i singgah di Zi Tua untuk bermalam, keadaan sekelilingnya kering dan panas dan tidak ada tumbuh-tumbuhan. Ditempat itu ramai didapati orang yang sedang berkhemah. Syafi'i mulai merasa lapar, sedangkan uang tak ada. Meskipun demikian ia yakin Allah s.w.t. akan memberikan pertolongannya kepada orang yang ingin menambah Ilmu Pengetahuannya. Ditempat itu Syafi'i berkenalan seorang yang separuh baya yang baik dan ramah. Syafi'i diajak makan malam bersamanya. Syafi'i memanggil orang itu dengan "paman".
Syafi'i mengucapkan syukur kepada Allah s.w.t.atas anugerahnya, sehingga ia tidak sampai kelaparan. Ketika itu Syafi'i bertanya kepada orang itu: "Siapakah orang yang paling alim di Madinah, ketika itu. Lalu orang itu menceritakan kepada Syafi'i, bahwa orang yang paling Alim di kota Madinah ketika itu ialah Imam Malik bin
Anas. Syafi'i bermohon kepada sahabat barunya itu, semoga ia sudi membawanya bertemu dengan Imam Malik bin Anas.
Memasuki hari kedelapan kami telah tiba di pinggir kota Madinah, dari jauh kelihatan sayup Masjid Nabi, dimana Rasulallah s.a.w.dimakamkan didekatnya. Alangkah gembiranya hati Syafi'i setibanya di masjid Nabi, dan beliau menunaikan solat sepuasnya dengan khusyuk dan perasaan terharu dengan tidak disadarinya air mata syafi'i membasahi pipinya, karena betapa mengagumi kebesaran dan keagungan Nabi s.a.w. yang telah berjuang menegakkan Islam dan ummatnya. Rasulallah s.a.w. telah berjaya merobah suatu masyarakat yang berpecah belah menjadi satu masyarakat yang bersatu padu,yang terdiri dari berbilang kaum dan agama, dengan terpatrinya piagam Madinah yang terkenal hingga bila-bila masa. Syafi'i setelah menunaikan solat, beliau pergi menziarahi makam Rasulallah s.a.w. Setelah itu, beliau melihat ramai orang sedang menghadiri majlis Ilmu mengelilingi Ulama Agung Imam Malik bin Anas. Syafi'i turut hadir untuk ikut sama mendengar dengan tekun segala mutiara Hadish Nabi s.a.w., yang disampaikan oleh Imam Malik.
Kelebihan Imam Syafi'i ialah daya hapalan yang dianugerahkan Allah kepadanya, sehingga semua pelajaran yang disampaikan oleh Imam Malik telah dapat dihapalnya. Selesainya pengajian murid-murid Imam Malik menyalami Tok Guru mereka sambil beredar dan pulang kerumah masing-masing.Syafi'i masih berada
ditempatnya. Imam Malik merasa heran, karena dilihatnya anak muda itu tidak meninggalkan tempat pengajian. Lalu beliau memanggil syafi'i dan bertanyakan segala sesuatu berkenaan dirinya, dan apa yang telah didengarnya. Imam Malik meminta supaya Syafi'i mengatakan kembali sebuah hadis yang telah dipelajarinya.
Syafi'i dengan lancarnya bukan saja mendengarkan satu hadis tetapi semua hadis yang didengarnya ketika Imam Malik menyampaikan pelajarannya. Sungguh mengagumkan daya ingatan pemuda Syafii, sehingga Imam Malik tertarik kepadanya.
Imam Syafi'i dan Gurunya, Imam Malik bin Anas
Betapa gembiranya Imam Malik karena mendapat seorang murid yang cerdas dan bijak seperti Syaf'i. Syaf'i semenjak kecil bukan saja telah hapal
seluruh isi al-Quran dan ribuan hadis Nabi s.a.w. malah beliau juga telah
hapal seluruh isi kitab Hadis Muwatta' karangan Imam Malik bin
Anas, sebelumnya Syaafi'i bertemu dengan Imam Malik. Imam Syafi'i membagi malam kepada tiga bahagian yaitu:
• Sepertiga untuk Ilmu Pengetahuan
• Sepertiga untuk sholat
• Sepertiga untuk tidur
Rabi' menerangkan bahwa Imam Syafi'i setiap hari menamatkan al-Quran
sekali, tetapi dalam bulan Ramadhan seluruhnya enam puluh kali, dan
semuanya dibaca ketika menunaikan ibadah Sholat. Imam Syafi'i sendiri
menerangkan bahwa beliau belum pernah bersumpah seumur hidupnya, baik ketika membenarkan sesuatu ataupun mendustakan sesuatu. Pernah disatu ketika ada orang bertanyakan sesuatu masaalah kepada beliau. Ketika itu Imam Syafi'i mendiamkan diri sejenak tidak langsung menjawabnya. Ketika beliau disoal mengapa berbuat demikian, maka Imam Syafi'i menjelaskan:
"Aku menunggu terlebih dahulu, sehingga aku mengetahui, mana yang lebih
baik aku diam ataupun menjawab pertanyaanmu."
Ini menunjukkan bahwa Imam Syafi'i adalah orang yang sangat teliti dalam memberikan sesuatu fatwa, kepada seseorang yang bertanyakan sesuatu masaalah semasa.
Imam Syafi'i pernah mengatakan: "Pada suatu hari aku tidak punya uang sesenpun, sedangkan aku ingin benar menuntut Ilmu. Lalu aku pergi bekerja disebuah Dewan untuk mendapat sedikit belanja". Ini menunjukkan bahwa Imam Syafi'i tidak berdiam diri ketika menemui kesulitan dalam
keuangan, terutama ketika menuntut Ilmu, beliau bersedia bekerja apa saja
yang halal, asalkan saja cita-citanya tercapai.
Imam Ghazali pernah menceritakan bahwa Imam Syafi'i juga adalah seorang Tokoh penting dalam kehidupan Sufi. Ia seorang yang sangat Taqwa tidak ingin bermegah-megahan dalam hal apapun juga. Berkenaan Ilmu Sufi, Imam Syafi'i berkata: "Saya ingin manusia itu mempelajari Ilmu ini, tetapi janganlah menyebut-nyebut namaku, dengan sepatah kata juapun".
Diantara kata-kata yang bernilai sufi daripada Imam Syafi'i ialah:
• Orang yang zalim kepada dirinya, ialah orang yang merendahkan dirinya kepada orang yang tidak memuliakannya dan orang yang menyukai sesuatu benda yang tidak memberi manfaat kepadanya, begitu juga orang yang menerima sesuatu pujian dari seseorang yang lain yang tidak mengenalnya, dengan sesungguh-sungguhnya.
• Orang yang tidak diutamakan karena Taqwanya, tidaklah termasuk Orang Yang Utama.
• Siasat manusia lebih kejam daripada siasat binatang.
• Jikalau kuketahui bahwa ia dengan itu dapat mengurangi kehormatanku, meskipun aku haus, aku tidak akan meminumnya.
• Diantara tanda-tanda benar dalam Ukhuwah ialah menerima keritikan teman, menutupi aib teman, dan mengampuni kesalahannya." Demikianlah kata-kata Hikmah dari Imam Syafi'i r.a.
Kecintaan Imam Syafi'i kepada Allah SWT
Imam Syaf'i menyintai Allah s.w.t. dengan sepenuh hatinya. Beliau pernah
mengingatkan: "Bahwa orang yang mengaku sanggup mengumpulkan antara cinta dunia dengan cinta kepada Allah s.w.t. dalam hatinya adalah dusta belaka". Imam Syafi'i adalah seorang yang sangat zuhud (cara hidup yang tidak tamak kepada keduniaan, seperti kemegahan, kekayaan, harta, dan sebagainya). Pernah sekembalinya beliau dari Yaman dan membawa uang sebanyak sepuluh ribu dirham, sebelumnya memasuki kota Makkah uang tersebut telah dibagi-bagikan beliau kepada orang yang memerlukannya.
Pernah terjadi ketika beliau duduk diatas seekor keledai lalu cambuknya terjatuh ketanah. Ada orang memungutnya dan menyerahkan kembali kepada Imam Syafi'i, kepada orang itu telah dihadiahkan uang
sebanyak lima puluh dinar, sebagai tebusan, bahwa beliau duduk diatas
keledai sedangkan orang lain berjalan dibawah, beliau menganggap takabbur duduk diatas keledai sedangkan orang lain berada di bawah.
Pernah juga terjadi, Imam Syafi'i melihat seorang pemuda mengambil udhu kurang sempurna. Anak muda itu ditegur oleh Imam Syafi'i dengan kata-kata:
"Wahai anak! Jika engkau mengambil udhu', lakukanlah dengan baik supaya Allah mengurniakan kepadamu dunia dan akhirat!"
Anak muda itu mengikuti nasihat Imam Syafi'i, setelah itu ia mengejar Imam Syafi dari belakang dan ingin mengetahui siapakah orang yang menasihatinya itu. Imam menoleh kepadanya sambil bertanya, "apa hal"? Anak itu menyatakan kepada Imam Syafi'i keinginannya untuk belajar lebih lanjut dan memberikan apa-apa nasihat kepadanya. Imam Syafi'i mengingatkan sang pemuda dengan kata-kata nasihat selanjutnya:
"Barangsiapa mengenal Allah ia akan jaya. Barang siapa memuliakan agamanya ia akan selamat dari kehinaaan dan bahaya, barang siapa zuhud di dunia pasti ia akan melihat balasan Allah yang mulia."
Lalu imam Syafi'i bertanya lagi kepada pemuda itu apakah ia
masih memerlukan tambahan pelajaran, anak muda itu menjawab tolong tambah lagi pengajaran beliau, maka Imam Syafi'i melanjutkan:
"Barangsiapa selalu mengerjakan tiga pekerjaan ini, maka akan sempurna imannya yaitu:"Barangsiapa yang menyuruh orang lain berbuat baik dan dia sendiri juga berbuat baik. Barang siapa mencegah orang berbuat jahat,dan dia sendiri menjauhkan dirinya dari kejahatan dan barangsiapa yang menjaga batas-batas hukum Allah."
Imam Syafi'i bertanya lagi kepada pemuda itu, apa masih perlu ditambah lagi? Anak muda itu menjawab, "ya".
Imam Syafi'i meneruskan:"Hendaklah engkau zuhud didunia, dan hendaklah engkau suka kepada amalan akhirat. Hendaklah engkau berlaku jujur dalam menjalankan segala perintah Allah, niscaya engkau termasuk orang-orang yang berjaya".
Kemudian anak muda itu bertanya, siapakah Tuan Guru yang yang sangat bermurah hati itu yang telah sudi mengajarnya meskipun didalam perjalanan. Lalu orang disekitarnya mengatakan yang dihadapinya itu
adalah Imam Syafi'i. Imam Syafi'i adalah seorang Imam yang bersedia
mencurahkan Ilmunya kepada siapa saja yang memerlukannya dengan tidak suka bermegah-megah. Semua itu dilakukannya karena Allah, semata -mata.
Imam Syafi'i dan Kepentingan Ilmu
Imam Syafi'i nama lengkapnya ialah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, juga
sangat dihormati oleh para Imam lainnya. Antaranya Imam Ahmad bin
Hambal, berkata:
"Tidak pernah aku mengerjakan sholat selama empat puluh tahun, kecuali aku selalu mengiringkan sholatku itu dengan do'a untuk Syafi'i".
Disatu hari Abdul Malik Almaimuni berbincang dengan Imam Amad bin Hambal, dan pembicaraan itu menyinggung diri Imam Syafi'i. Al-Maimuni mengatakan
"Jelas aku lihat Ahmad memuliakannya dan berkata:"Aku pernah membaca sebuah hadis Nabi s.a.w., bahwa Allah membangkitkan bagi ummat ini setiap seratus tahun, seorang lelaki yang menghidupkan urusan agamanya."
Imam Syafi'i sangat tidak menyukai kata-kata ataupun ucapan yang tidak
baik terhadap sesama manusia. Pernah disatu hari ada seorang mengeluarkan kata-kata kotor terhadap seorang alim, maka imam Syafi'i menegur orang itu:
"Bersihkanlah pendengaranmu dari mendengar perkataan yang keji, sebagaimana engkau membersihkan lidahmu dari mengeluarkan kata-kata yang keji dan kotor. Seseorang yang hodoh dan keji selalu menumpahkan kekejiannya itu untuk mengisi kebersihanmu, jika engkau jawab dengan kekejian pula, engkau akan berbuat keji sebagaimana perbuatan orang yang keji itu".
Imam Syafi'i senang menyelesaikan berbagai masaalah agama yang diajukan orang kepadanya. Sehingga beratus-ratus masaalah agama dapat diselesaikan Imam Syafi'i dalam masa semalaman, untuk maslahat Ummat Islam. Sehingga pernah Imam Ahmad bin Hambal mengatakan kepada anaknya berkenaan Imam Syafi'i.
"Gerak dan diamnya, perkataannya, zikir dan fikirannya, semuanya untuk Allah s.w.t. Qiamnya itu ta'at, tidurnya itu sedekah, zikirnya itu tasbih, diamnya dan ilmunya itu obat bagi ummat manusia".
Mutiara kata dari Imam Syafi'i berkenaan Ilmu, beliau berkata:
"Engkau tidak akan memperoleh Ilmu kecuali dengan enam hal, yaitu dengan kecerdasan, semangat keras, rajin dan tabah, biaya yang cukup, bersahabat dengan guru".
"Tetapi ingatlah!Orang yang diberikan derjat yang mulia karena Ilmunya tak mungkin diberi harta yang melimpah. Karena Ilmu dan Harta tak mungkin berjalan bersama. Sudah ditakdirkan, bahwa orang yang akan dinaikkan darjatnya, pastilah diuji dengan kemelaratan. Buktinya, banyak orang pandai yang hidupnya melarat dan banyak orang bodoh yang hidupnya serba cukup.Orang yang diberi rezeki dengan mudah, pahalanya sedikit, tidak terpuji dan tidak mendapatkan taufiq".
Beliau melanjutkan:
"Berjaga malam untuk menekuni Ilmu, lebih nikmat bagiku daripada lagu merdu dan bau wewangian. Goresan penaku di tengah lembaran kertas, terasa lebih indah daripada khayalan".
Imam Syafi'i Berangkat ke Iraq
Dimusim Haji ramai Muslimin datang ke Madinah untuk menziarahi maqam
Rasulallah s.a.w.Demi hormat dan kecintaan mereka kepada Rasulallah
s.a.w.Mereka yang datang itu dari banyak tempat,terutama dari Mesir dan
Iraq.Selesai menziarahi maqam Nabi s.a.w,mereka juga menziarahi Imam
Malik,dan meminta supaya kepada mereka diajarkan Kitab Muattha.Imam
Malik menyuruh Imam Syafi'i supaya membacakan kitab tersebut untuk orang
ramai yang menghadiri Majlis Ta'lim Imam Malik.
Sudah tentu dengan senang hati Imam Syafi'i membacakan kitab tersebut
yang telah dihapalnya keseluruhan isi kitab al-Muaatha.Jamaah yang hadir
sungguh kagum melihat kelancaran pembacaan kitab Muaatha,yang dibaca
oleh Imam Malik.Hal ini dengan mudah dilakukan oleh Imam Syaf'i
disebabkan beliau telah menghapal seluruh isi kitab tersebut.
Selesai majlis Ilmu itu,Imam Syafi'i pergi menziarahi rombongan yang
datang ketempat itu.Ketika beliau menziarahi rombongan dari Iraq Imam
Syafi'i melihat seorang pemuda Iraq sedang menunaikan sholat.Selesai
pemuda itu menunaikan sholat,lalu ia didekati oleh Imam Syafi'i,dan
beliau ingin berkenalan dengan tamu muda itu.Imam Syafi'i bertanya
kepada pemuda itu siapakah Ulama yang paling terkenal dalam hal Ilmu
al-Quran dan Sunnah di Iraq.Pemuda itu menjawab,bahwa ketika itu Ulama
yang paling terkenal dalam Ilmu al-Quran dan Sunnah ialah Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan.Kedua Ulama yang paling terkenal itu adalah murid
dari Imam Abu Hanifah.Imam Syafi'i sangat tertarik dan ingin menambah
Ilmu Pengetahuannya kepada kedua-kedua orang Alim itu.Imam Syafi'i
bertanya bila pemuda Iraq itu akan berangkat kembali ke Iraq.Pemuda itu
menjawab bahwa ia akan berangkat keesokan harinya.Imam Syafi'i bergegas
pulang menemui gurunya Imam Malik dan menceritakan keinginannya ingin
menambah Ilmu Pengetahuan,terutama berkenaan al-Quran dan Sunnah Nabi
s.a.w,yang telah menjadi cita-citanya dari sejak semula.
Mendengar hasrat hati Imam Syafi'i,maka Imam Malik bersetuju dan
mendo'akan semoga segala hajat Imam Syafi'i dalam cita-citanya menambah
Ilmu Pengetahuan dari kedua Ulama Agung itu semoga dikabulkan oleh Allah
s.w.t.Imam Malik sendiri ikut mengantarkan Imam Syafi'i
hingga ke Baqi'.Suatu hal yang memeranjatkan Imam Syafi'i,dimana Imam
Malik telah menyediakan unta untuk kenderaan dalam perjalanan Imam
Syafi'i menuju Kufah Ibu kota Iraq.Disamping itu Imam Malik memberikan
kepada Imam Syafi'i uang sebanyak lima puluh Dinar.Imam Syafi'i merasa
heran darimana Imam Malik memperoleh uang tersebut.Setahu Imam Syafi'i
Imam Malik ketika itu tidak punya uang sebanyak itu.Lalu Imam malik
menceritakan kepada Imam Syafi'i bahwa malam itu ada seorang yang
bernama Qasim menziarahi Imam Malik dan menghadiahkan kepada beliau uang
seratus dinar,dan memohon supaya Imam Malik sudi menerima hadiah
tersebut.Oleh Imam Malik uang seratus dinar itu dibagi dua,sebanyak lima
puluh dinar diperuntukkan untuk keperluan Imam Syafi'i.Mulanya Imam
Syafi'i menolak hadiah uang itu.Beliau tak sampai hati menerima
pemberian dari gurunya,dan meminta supaya Imam Malik menyimpan uang
tersebut untuk keperluan Imam Malik.Meskipun demikian Imam malik tetap
mendesak supaya uang tersebut supaya diterima oleh Imam Syafi'i.
Imam Syafi'i mengucapkan terimakasih kepada Gurunya,karena pertolongan yang
sangat berharga didalam perjalanan.
Imam Malik mendo'akan semoga cita-cita Imam Syafi'i untuk menambah Ilmu
Pengetahuan,dikabulkan oleh Allah s.w.t.
Imam Malik tidak berganjak dari tempatnya sambil memperhatikan
keberangkatan Imam Syafi'i sehingga kafilah Imam Syafi'i hilang dari
pandangan matanya.Disini dapatlah kita menarik pelajaran,betapa gigihnya
Imam Syafi'i dalam usahanya untuk menambah Ilmu Pengetahuan meskipun
terpaksa menempuh perjalanan yang jauh.Juga betapa mesranya hubungan
murid dan gurunya,yang saling bantu membantu dalam hal-hal yang
menyangkut kepentingan dunia dan kepentingan akhirat.
Imam Syafi'i Berguru di Kufah
Setelah penat dalam perjalanan yang jauh dari Madinah ke Kuffah (Iraq)
ketika itu memakan masa dua puluh empat hari,maka tibalah Imam Syafi'i
dan rombongannya di sebuah Masjid di Kufah.Ketika itu Imam Syafi'i
berusia dua puluh dua tahun.Imam Syafi'i menunaikan sholat berjamaah
di Masjid tersebut.Kedua-dua Imam yang dicari-cari oleh Syafi'i,rupanya
juga berada di Masjid itu,dan mereka juga menjadi Imam
Besar masjid tersebut.Imam Syafi'i dapat berkenalan dengan kedua-dua
tokoh Agama yang paling terkemuka sekali di Iraq ketika itu,yaitu Abu
Yusuf dan Muhammad bin Hasan.Mereka bertanyakan kepada Syafi'i berkenaan
keadaan Imam Malik di Madinah.Pernahkan kamu bertemu Imam Malik di Madinah ?
Syafi'i menjawab semua pertanyaan yang diajukannya dan menjelaskan,bahwa
Imam Malik bin Anas juga menjadi Guru beliau,dan pernah tinggal bersama
Gurunya itu."Jika demikian tentu kamu telah pernah membaca kitab Muattha
yang terkenal hasil karya Imam Malik, kata Imam Muhammad."Benar tuan !
Jawab Imam Syafi'i,Alhamdulillah saya bukan saja telah membaca kitab
Muwatha,malah telah menghafalnya dalam hati."
Imam Muhammad mengambil kertas dan menuliskan beberapa soalan dan
meminta Syafi'i menjawab soalan-soalan,untuk menguji sampai dimana Ilmu
Imam Syafi'i berkenaan kitab Muwatha,karangan Imam Malik.Setelah
meneliti semua soalan yang diajukan itu,maka Imam Syafi'i dapat
menjawabnya dengan mudah,disebabkan isi kitab Muwatha telah dapat
dihafal dan dikuasai oleh Syafi'i.Setelah membacanya semua jawaban
tersebut,maka Imam Muhammad tersenyum dan merasa gembira dengan
jawaban-jawaban yang diberikan oleh Imam Syafi'i.Lalu beliau
berkata:"Sudikah kamu menjadi tamuku pada malam ini ?Syafi'i
menyambutnya dengan perasaan penuh kegembiraan,dengan menjadi tamu dan
bermalam dirumah Imam Muhammad,bearti beliau telah mendapat peluang
yang baik sekali untuk berguru kepada Imam Muhammad.
Syafi'i menjadi tamu dirumah Imam Muhammad,dan diberikan penghormatan
yang istimewa,oleh Imam Besar itu.Beliau menghadiahkan pakaian yang
cantik dan mahal,sambil menyuruh Syafi'i mandi,maklum beliau baru tiba
dari perjalanan yang jauh.Imam Syfi'i menyambut hadiah yang istimewa itu
dengan perasaan syukur dan berterimakasih kepada Imam Muhamad.
Selesai mandi,Syafi'i memakai pakaian (jubah) hadiah dari Imam
Muhammad.Betapa gembiranya Imam Muhamad,melihat pakaian pemberiannya itu
telah dipakai oleh Syafi'i.Imam Muhammad mengambil sebuah kitab karangan
Imam Abu Hanifah,yang berjudul "Al-Aushat" dan menyerahkannya kepada
Syafi'i untuk bacaan Syafi'i dimalam itu.Dengan perasaan gembira,Syafi'i
menyambut kitab Al Ausath,dan membacanya dengan khusyu'.
Salah satu keistimewaan yang dianugerahkan Allah S.W.T kepada Syafi'i ialah dari
segi hafalan.Setelah membaca kitab tersebut,dengan penuh perhatian,dan
seronok membacanya, Syafi'i telah dapat menghafal keseluruhan kitab
Al-Ausath,karangan Imam Abu Hanifah.
Hal ini tidak diceritakan oleh Imam Syafi'i kepada Imam Muhammad.
Imam Syafi'i dan Gurunya, Imam Muhammad
Imam Muhammad tempat rujukan orang ramai meminta fatwa, dan fatwa Imam Muhammad diterima tanpa apa-apa soal. Pada suatu hari datang seorang lelaki meminta fatwa dari Imam Muhammad. Ketika itu aku berada disampingnya, demikian kata Imam Syafi'i. Setelah lelaki itu menceritakan masaalah yang dihadapinya dan meminta fatwa dari Imam Muhammad. Setelah
mendengar masaalah lelaki itu, lalu Imam Muhammad memberikan fatwanya, dan meyakini fatwanya itu bersandarkan pendapat Imam Abu Hanifah.
Imam Syafi'i bercerita:
"Setelah mendengar fatwa beliau, aku merasa yakin fatwa itu tidak seberapa tepat berdasarkan pendapat Imam Abu Hanifah yang bukunya telah dapat kuhapal. Lalu aku mohon izin kepada Imam Muhamad, untuk memberikan pandangan Imam Abu Hanifah yang telah kuketahui. Imam Muhammad merasa terkejut mendengar pandangan yang kuberikan itu, lalu beliau merujuk kembali kepada kitab "al-Ausat" kepunyaan Imam Abu Hanifah. Ternyata apa yang kukatakan itu memang benar, seperti pandangan Imam Abu Hanifah,lalu Imam Muhammad membetulkan kembali fatwa beliau. Imam Muhammad sangat kagum atas hapalanku".
Setelah sekian lama Imam Syafi'i tinggal dan menuntut Ilmu kepada Imam Muhammad, maka Syafi'i merasa ingin melanjutkan perjalanan untuk menuntut Ilmu Pengetahuan. Hal ini diceritakan Imam Syafi'i kepada Imam Muhammad, dan Imam Muhammad terharu mendengarnya. Imam Muhammad berkata kepada Imam Syafi'i: "Saya bersetuju atas hasratmu
tetapi dengan satu syarat. Syaratnya tidak berat iaitu engkau bersetuju menerima separuh dari harta bendaku. Imam Syafi'i tidak menyangka begitu bermurah hati Imam Muhammad kepada beliau. Meskipun demikian Imam Syafi'i menjawab:"Paman ! Sebenarnya kedatangan saya kemari adalah untuk menimba Ilmu Pengetahuan bukannya mengumpulkan harta kekayaan. Oleh itu izinkanlah saya kembali menemui ibu saya dan lupakanlah berkenaan pembahagian harta". Imam Syafi'i menolak tawaran harta dari Imam Muhammad dengan ucapan terimakasih yang tak terhingga.
Imam Muhammad kecewa mendengar penolakanku. Lalu beliau berkata baiklah anakku, jika kiranya engkau menolak separuh harta paman, paman harapkan engkau tidak menolak
sedikit hadiah paman sebagai bekal dalam perjalanan. Lalu Imam Muhammad menyuruh pembantu beliau mengambil beberapa pundi wang, seraya berkata: "Ini sajalah yang dapat kuberikan kepadamu Syafi'i,sebagai hadiah, untuk bekal dalam perjalanan. "Kali ini saya tak dapat menolak hadiah itu, dikuatirkan beliau akan berkecil hati. Inilah hadiah yang
terbesar pernah kuterima selama hayatku, wang sejumlah tiga ribu dinar. Setelah itu akupun bersalaman dengan Imam Muhammad dan mohon do'a restu beliau. Akupun melanjutkan perjalanku menuju Iran.Aku berjalan dari satu kota kesatu kota. Setiap bertemu dengan Ulama yang terkenal Alim aku tidak melepaskan kesempatan untuk menambah Ilmu Pengetahuan dari
mereka. Aku mengembara keseluruh pelosok Negeri Iran, beberapa tahun lamanya, dan kemudian kembali semula ke Iraq semasa pemerintahan Harun al-Rasyid yang masyhur itu.
Kembali ke Madinah
Dalam lawatan Imam Syafi'i ke Iraq beliau menjelajah banyak tempat. Dari
Bagdad,beliau menuju Iraq Selatan,Anatolia (Asia Kecil) dan Haran.Dari
situ Imam Syafi'i pergi ke beberapa negara Syam dan kemudian kembali ke
Makkah menziarahi ibundanya.Dua tahun kemudian Imam Syafi'i berangkat ke
Madinah dengan memiliki Ilmu pengetahuan yang luas.Sesampainya beliau di
Madinah Imam Syafi'i menuju masjid al-Haram Annabawi (masjid Nabi
s.a.w.)beliau menziarahi kuburan suci Nabi s.a.w.dan turut hadir dalam
majlis ta'lim Imam Malik (guru Imam Syafi'i).Ketika itu Imam Malik
sedang memberi pelajaran kepada murid-murid beliau yang memenuhi majlis
Ilmu.Setelah itu Imam Malik mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk
menguji sampai dimana Ilmu yang telah mereka
kuasai.Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Imam Malik agak susah
mereka menjawabnya.Tetapi Imam Syafi'i membisikkan jawabannya kepada
orang yang duduk disebelah beliau.
Begitulah setelah diajukan
pertanyaan-pertanyaan hanya lelaki yang dibisiki Imam Syafi'i itu
sahaja yang dapat menjawabnya.Lalu Imam Malik memanggil lelaki itu,dan
bertanyakan kepadanya dari mana dia memeroleh jawaban yang tepat
itu.Orang itu menjawab,bahwa jawaban itu diperolehnya dari seorang anak
muda yang duduk disebelahnya.Imam Malik memanggil anak muda itu,ternyata
anak muda itu adalah Asy-Syafi'i.Alangkah gembiranya Imam Malik melihat
Imam Syafi'i,lalu Imam Malik turun dari korsinya dan memeluk Syafi'i dan
berkata kepada Syafi'i:"Sempurnakanlah olehmu bab ini."
Imam Malik merasa puas hati mendengar uraian yang disampaikan oleh Imam
Syafi'i.
Setelah usai pelajaran,maka Imam Malik mengajak Imam Syafi'i
kerumahnya.Imam Syafi'i mengabarkan segala pengalamannya dalam menuntut
Ilmu Pengetahuan,selama masa perpisahan dengan Imam Malik.Syaf'i juga
bercerita kepada gurunya Imam Malik betapa beliau sangat mengagumi Imam
Abu Hanifah Annu'man,dan beliau telah membaca fiqh Abu Hanifah melalui
dua orang murid Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf dan Muhammad Al-Hasan.Pernah
Imam Abu Hanifah diserang dengan tuduhan bahwa beliau kurang menguasai
Ilmu Hadis.Imam Syafi'i membela Imam Abu Hanifah dan menempatkan Imam
Abu Hanifah ditempat yang mulia,dan berkata:"Peranan Abu Hanifah dalam
bidang figh amat luas dan semua orang tidak dapat melepaskan diri dari
peranan Abu Hanifah."
Imam Syaafi'i menetap di Madinah sebagai murid Imam Malik sejak
pertemuan itu (thn 170 H.sehingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H.)
Ketika itu Imam Syafi'i telah mencapai usia dua puluh sembilan
tahun.Ketika gurunya meninggal dunia Imam Syafi'i amat bersedih hati,dan
beliau sering mencucurkan air mata kesedihan mengenang jasa gurunya
kepadanya.Tidak lama kemudian setelah itu Imam Syafi'i kembali ke Makkah
dan meninggalkan Madinah dengan kenangan manis bersama gurunya Imam
Malik bin Anas r.a.
Imam Al-Syafi’i Difitnah
Setelah Imam Malik meninggal dunia pada tahun 179 H, maka Imam al-Syafi’i pulang ke Makkah . Nama Imam al-Syafi’i demikian harumnya sehingga menarik perhatian seorang penguasa Yaman yang bersetuju melantik Imam al-Syafi’i sebagai wali ataupun pegawai yang bertanggung jawab di daerah Najran. Disitu Imam al-Syafi’i telah menjalankan tugasnya dengan penuh keadilan sehingga menjadi tumpuan orang ramai mengharapkan keadilan.
Sudah tentu sikap benar dan adil itu bukan semua manusia menyukainya, terutama sekali manusia yang suka menindas dan zalim. Maka mereka mecari jalan untuk menyinkirkan Imam al-Syafi’i dari daerah tersebut dengan demikian, segala rencana jahat mereka tidak ada yang menghalanginya.
Oleh itu mereka mencari-cari jalan untuk menjatuhkan Imam al-Syafi’i, lalu Imam al-Syafi’I difitnah dengan aduan palsu kepada khalifah al-Rasyid, dengan menuduh Imam al-Syafi menjadi ketua kepada sembilan Alawi yang hendak menggulingkan kerajaan Abbasiyah.
Imam al-Syafi’i adalah diantara para Imam yang sangat mencintai Ahlul Bait (keluarga terdekat Rasulallah s.a.w.). Banyak sya’ir beliau yang menunjukkkan kecintaan beliau kepada Ahlul Bait, antaranya Imam al-Syafi’i bersyair.
"Wahai Ahlul-Bait Rasulallah, mencintai kalian
adalah Kewajiban dari Allah diturunkan dalam al-Quran
cukuplah bukti betapa tinggi martabat kalian
tiada sholat tanpa shalawat bagi kalian."
Dalam sya’ir lainnya al-Imam Syafi’i menyampaikan kandungan isi hatinya, antara lain al-imam mengatakan:
"Jika sekiranya disebabkan kecintaan kepada keluarga Rasulallah s.a.w. maka aku dituduh Rafidhi (Syi’ah). Maka saksikanlah jin dan manusia, bahwa sesungguhnya aku adalah Rafidhi."
Kecintaaan Imam al-Syafi’i kepada Ahlul Bait menjadi bahan fitnah bagi manusia dengki, kaki ampu, untuk menjatuhkan imam al-Syafi’i dari kedudukannya. Lalu surat fitnah dikirmkan kepada Harun al-Rasyid yang bunyinya demikian :
" ………Diantara mereka terdapat seorang lelaki bernama Muhammad bin Idris, ia bekerja dengan lidahnya ………Jika tuanku ingin Hijaz kekal di bawah takluk pemerintahan tuanku, mereka itu hendaklah dibawa kepada tuanku." (Usul al-Fiqh,h.65)
Al-Rayid merasa ketakutan Kerajaannya tumbang, sebab kerajaannya dibina dengan banyak mengorbankan jiwa mereka yang tak bersalah, lalu dia memerintahkan kumpulan sembilan dan al-Syafi’i supaya dibawa menghadapnya di Iraq. Kesemua mereka digari dibawa dengan baghal. Di Iraq, semuanya dibunuh kecuali al-Syafi’i yang mendapat pembelaaan dari Imam Muhammad Syaibani (murid imam Abu Hanifah) pada tahun 184 Hijrah.

No comments:

Post a Comment